Kamis, 26 Januari 2012

REVITALISASI PENDIDIKAN AKHLAK

Ketika menjadi wakil kesiswaan SMP Al Falah Deltasari, ada beberapa siswa menemui saya. Dengan wajah yang penuh harap, mereka menyampaikan uneg-uneg-nya,” Ustad boleh saya membuat kandang ayam di belakang sekolah?” Begitu permintaan Toni yang mewakili teman-temannya setelah mereka berdiri di depan meja wakasek kesiswaan. Mendapat permintaan tersebut, saya ingin tahu lebih jauh latar belakang ide pembuatan kandang ini. “Loh, buat apa kandang ayam, mau beternak ayam?” Tanya saya yang masih heran dengan ide yang agak aneh, waktu itu. “Ustad kami mendapat tugas membuat alat penetas telur, dan alat kami sudah bekerja, beberapa hari lagi telur-telur itu akan menetas.” Jawab Toni dengan meyakinkan. “Dan setelah itu kami punya anak-anak ayam, kan perlu tempat Ustad!” imbuh teman-temannya dengan semangat. Mendengar pertanyaan ini, saya teringat 3 minggu sebelumnya, mereka memang sibuk di workshop PTD (Pendidikan Teknologi Dasar) untuk membuat alat penetas telur tugas dari Ustad Bakri selaku guru fisika saat itu.

Dari cerita itu, yang menjadi perhatian bukanlah persetujuan saya sehingga akhirnya mereka membuat kandang anak ayam di belakang sekolah. Namun sikap tanggung jawab mereka, daya antisipatifnya, akhlak terhadap makhluk hidup lainnya membuat saya kagum kepada mereka. Padahal rencana pembelajaran yang dirancang gurunya tidak sejauh itu, mungkin hasil belajar yang tertulis sebatas kriteria produk dan sikap kerjasamanya, tapi dampak positifnya melebihi harapan, seperti tanggung jawab, antisipatif, dan peduli pada makhluk lain dalam hal ini anak ayam, mereka telah belajar sikap positif atau akhlak mulia. Hal itulah yang kita harapkan dalam pendidikan akhlak, dan bila perlu sikap-sikap positif ini harus direncanakan dengan baik tidak sekedar efek samping, dan harapannya semua siswa memiliki hal tersebut.

Pendidikan akhlak di Al Falah sudah berjalan sejak berdirinya sekolah ini, hal ini dapat dilihat seperti pada program-program pembiasaannya maupun integrasi nilai-nilai Islam (INIS). Program tersebut dinomersatukan oleh Al Falah, hal ini terlihat pada jumlah jam pelajaran serta kegiatan pada penanaman nilai-nilai keislaman berbeda sekali dengan sekolah pada umumnya. Meskipun demikian, evaluasi menunjukkan bahwa masih banyak perbaikan dan penguatan yang perlu dilakukan terhadap sistem pendidikan akhlak, mulai dari standardisasi inputnya, proses, hingga efektivitas outputnya.

Sebelum lebih jauh berbicara tentang penguatan pendidikan akhlak, perlu dipersamakan persepsi terhadap arti pendidikan. Pada UU no. 20 tahun 2003 didapati definisi pendidikan, yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Banyak pakar menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan yang meliputi pembudayaan pada sikap, nilai atau karakter yang diharapkan.

Pembudayaan pada dasarnya proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya. Setelah berinteraksi dengan lingkungannya siswa akan menginternalisasi norma, nilai serta skema yang baru tersebut. Hasilnya diharapkan mereka ada kesadaran diri untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah diajarkan atau dikembangkan oleh sekolah. Tugas pendidik adalah menciptakan iklim dan situasi yang mampu membudayakan karakter atau akhlak. Karena salah satu proses belajar adalah imitatif atau peniruan, maka kunci pokok dalam pendidikan akhlak adalah teladan. Bukankah Rasulullah sendiri mencontohkan hal yang demikian? Pendidikan akhlak tidak dapat berhasil tanpa peran orang tua, maka iklim teladan ini juga harus dibentuk di rumah. Sehingga ada sinergi antara di sekolah dan di rumah.

Perubahan begitu cepat, sehingga memerlukan perhatian dan respon yang cerdas oleh guru, pimpinan sekolah dan orang tua. Penting untuk senantiasa dicari strategi-strategi yang tepat. Harus dievaluasi efektivitas semua strategi, metode pembelajaran, atau program-program akhlak. Program yang masih baik tetap dipakai dan dikembangkan, serta dipadukan dengan strategi dan program baru untuk meningkatkan efektivitas.

Untuk memperoleh efektivitas program, penguatan dan perbaikan sistem perlu dilakukan pada konteks, input, proses maupun output program-program pendidikan akhlak. Komponen Konteks dalam sistem pendidikan akhlak ini adalah berupa dukungan, harapan, dan permintaan yang dapat mempengaruhi input program, seperti kebijakan, aspirasi masyarakat khususnya orang tua terhadap program, status sosial ekonomi, dan sebagainya.

Contoh penguatan pada komponen konteks, masalah salat misalnya, pada pembelajaran di kelas ditanamkan wajibnya salat 5 waktu, di luar kelas ada program salat jamaah Dhuhur dan Ashar, dan ada pembuatan iklim salat jamaah dhuhur dan ashar. Kewajiban salat isya dan subuh ada program kontrol salat. Perbaikan pada hal ini adalah evaluasi dan keistiqomahan dalam pengukurannya. Apakah dipastikan semua siswa terhubungi ketika kontrol salat subuh, bagaimana kepala sekolah dan wali kelas memastikannya, terus bagaimana tindak lanjut pembinaan siswa yang salat dan tidak salat, kemudian bagaimana partisipasi orang tua terhadap program ini, bagaimana dukungannya dan seterusnya.

Komponen input adalah segala sesuatu yang harus tersedia dan siap demi untuk keberlangsungan program pendidikan akhlak. Unsur-unsur yang terkandung dalam komponen ini adalah; 1) Enviromental input, yang termasuk dalam enviromental input adalah sumber daya alam, sumber daya manusia (individu, kelompok, dan komunitas), dan kelembagaan (swasta, pemerintah, dan kemasyarakatan); 2) Instrumental input, yang termasuk bagian ini adalah Kurikulum, guru, fasilitas, dan biaya; 3) raw Input adalah peserta didik dengan karakteristiknya seperti psikis, fisik, status sosial dan sebagainya. Contoh yang perlu diperbaiki adalah bagaimana kurikulum dan perencanaanya, apakah buku-buku yang digunakan siswa mendukung dan memadai untuk program itu. Hal ini perlu analisis yang menyeluruh sehingga komponen input ini mendukung efektivitas program.

Komponen Proses adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, bertahap, terpadu dan terarah pada pencapaian tujuan, sedang proses dalam program akhlak, antara lain proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan sekolah, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, evaluasi, dan akuntabilitas. Dari makna komponen proses itu, apakah di LPF semua program sudah terpadu, berkesinambungan mulai kelas I hingga kelas VI bila di SD, bahkan keterpaduan program pendidikan akhlak mulai TK hingga SMP.

Komponen output merupakan hasil dari sebuah program, sedangkan outcome adalah bagaimana dampak program bagi siswa dalam menerapkan hasil pendidikan. Dampak dapat berupa perilaku, keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai. Al Falah menginginkan outputnya, yakni siswa yang benar-benar beragama, bukan sekedar memiliki pengetahuan tentang agama. Sekolah dan orang tua juga ingin anak-anak memiliki akhlak mulia, tidak sekadar berpengetahuan tentang akhlak. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan dan pengembangan untuk mewujudkan generasi yang berakhlak mulia.

.....*) telah dimuat di majalah Media Pendidikan Al falah

Senin, 02 Agustus 2010

Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah(Problem solving) pada Siswa

Sering kita jumpai ada orang yang diliputi banyak masalah, tapi diantara orang tersebut tidak mampu menemukan atau mengetahui masalah yang sebenarnya, kalau masalahnya tidak mampu diidentifikasi bagaimana menemukan solusinya. Orang yang mengalami hal tersebut belum memeliki kapabilitas sebagai problem solver masalahnya sendiri. Dan orang seperti itu tidak sedikit, kita sebagai guru berfikir jangan-jangan itu juga produk kita dan sekolah kita. Karena di sekolah lebih mementingkan konsep atau hafalan yang dikuasai, dari pada kapabilitas pemecahan masalah.
Kita menyadari tujuan pembejaran kita tidak hanya meningkatkan perolehan pengetahuan yang berupa fakta maupun konsep saja, tapi tak kalah penting adalah kecakapan hidup(life skills), sebagai contoh yang dibahas dalam tulisan ini adalah pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan kemampuan yang paling tinggi dalam Intelektual skill, dan saat ini kemampuan tersebut menjadi perhatian dunia untuk dikembangkan.


Kedudukan pemecahan masalah dalam intelektual skill
Intelektual skill adalah kemampuan diri untuk berhubungan dengan lingkunganya dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang atau simbol. Dan intelektual skill terbagi menjadi 5 sub kemampuan yaitu diskriminasi jamak, konsep, kaidah, prinsip dan yang tertinggi adalah kemampuan pemecahan masalah.

Bagaimana membelajarkan Pemecahan masalah

Hal-hal yang diperhatikan dalam membelajarkan kemampuan pemecahan masalah antara lain hirarki subkemampuan dalam intelektual skill, proses pemecahan masalah, dan model pembelajaran yang sesuai. Dua hal tersebut dibahas pada tulisan ini dan model pembelajaran dibahas pada ticher berikutnya.

Hirarki subkemampuan intelektual skill

Dalam membelajarkan kemampuan pemecahan masalah secara keseluruhan guru seharusnya membelajarkan sub kemampuan intelektual skill yang terendah dulu baru kemudian ke sub yang lebih tinggi. Artinya sebelum siswa menguasai kemampuan pemecahan masalah, maka mereka harus menguasai sub kemampuan di bawahnya terlebih dahulu, karena belajar deskriminasi jamak, belajar konsep, kaidah, dan prinsip merupakan prasyarat untuk belajar pemecahan masalah. Sehingga urutannya sebagai berikut.

1. Diskriminasi jamak
Diskriminasi jamak adalah kemampuan dalam membedakan obyek yang satu dengan yang lain. Kemampuan ini berdasarkan hasil pengamatan, hasil pengamatan disebut persepsi. Dengan persepsi ini seseorang mengenal ciri-ciri fisik dari obyek-obyek, baik itu warna, bentuk maupun ukurannya. Sehingga dapat membedakan antara obyek satu dengan obyek lainnya. Siswa yang belum menguasai kemampuan ini akan mengalami kesulitan belajar konsep. Yang perlu ditekankan dalam belajar diskriminasi ini adalah bagaimana kita melatih siswa dalam hal keterampilan “pengamatan” yang benar seperti dibahas pada ticher sebelumnya. Makin teliti pengamatan seseorang maka persepsinya semakin tajam, sehingga menghasilkan kemampuan diskrimasi yang pasti terhadap obyek-obyek yang ditemui dalam kehidupan.

2. Belajar konsep
Konsep dibedakan menjadi dua yakni konsep konkret dan konsep yang didefinisikan, belajar konsep konkret adalah belajar menunjukkan pada obyek-obyek dalam lingkungan fisik seperti meja, kursi, warna dan lainnya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tapi tidak langsung menunjuk pada lingkungan fisik. Misalnya listrik, saudara sepupu, dan lainnya. Konsep-konsep mendasari pembentukan kaidah, orang tidak tahu konsep bisa salah dalam belajar kaidah.

3. Belajar Kaidah
Tingkatan yang lebih tinggi setelah menguasai deskriminasi jamak dan konsep adalah kaidah, bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu sama lain terbentuk suatu ketentuan yang mempresentasikan suatu keteraturan dinamakan kaidah. Misalnya siswa yang telah menguasai konsep “benda,” bulat,” “bidang miring,” dan ‘berguling” insya Allah siswa tersebut mampu menghubungkan konsep tersebut dan dapat menjelaskan bahwa, “ benda yang bulat berguling di bidang miring.”

4. Belajar Prinsip
Prinsip merupakan kombinasi dari beberapa kaidah, berdasarkan prinsip ini orang mampu memecahkan suatu masalah atau problem yang dihadapi. Misalnya siswa yang telah menguasai kaidah “benda yang bulat berguling di bidang miring.” Serta “bidang datar. “ maka untuk mencegah benda berharga yang bentuk bulat agar tidak bergulig di bidang miring, siswa tersebut membuat bidang tersebut datar, atau mengganjal benda tersebut dengan bidang lain, misanya bidang datar.


Proses Pemecahan Masalah

Dalam membelajarkan pemecahan masalah guru harus memahami proses atau langkah pemecahan masalah. Seperti pada matematika Eicholz dalam Wasis(1997) mengemukakan lima langkah yaitu;
1) memahami apa yang ditanyakan,
2) menemukan data yang dibutuhkan,
3) merencanakan apa yang harus dilakukan,
4) menemukan jawaban melalui komputasi, dan
5) mengkoreksi kembali jawaban.

Pendapat para ahli yang lain terdapat tiga langkah, yakni 1) mempresentasikan masalah, 2) mencari berbagai alternative solusi berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dan 3) mengevaluasi solusi yang telah digunakan.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut tentunya sebagai guru kita dapat memulai membelajarkan kapabilitas pemecahan masalah kepada siswa dengan menggunakan beberapa model pembelajaran yang sesuai, misalnya model pembelajaran berdasarkan masalah atau PBI yang tahapannya sebagai berikut.

Tahap-1
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilihnya.


Tahap-2
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap-3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Tahap-4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Tahap-5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
(Diolah dari berbagai sumber)

RUANG BERTANYA


ShoutMix chat widget